A. Pendahuluan
Upaya Israel untuk menguasai sepenuhnya wilayah Tepi Barat kini bergerak semakin cepat. Tanpa perlu deklarasi resmi, langkah-langkah administratif dan politik yang ditempuh pemerintahan Benjamin Netanyahu telah menciptakan kondisi yang oleh para pengamat disebut sebagai “aneksasi de facto” — aneksasi tanpa nama, namun nyata dalam praktiknya.
Sebuah laporan terbaru yang dirilis oleh International Crisis Group (ICG) bertajuk “Kedaulatan Tanpa Nama: Israel Mempercepat Proses Aneksasi Tepi Barat” menyoroti bahwa Israel telah memindahkan banyak kewenangan administratif dari otoritas militer ke lembaga-lembaga sipilnya, terutama sejak kabinet sayap kanan ekstrem berkuasa pada 2022.
Langkah ini, menurut laporan tersebut, menandai berlakunya hukum Israel secara langsung di wilayah pendudukan, sebuah bentuk perluasan kedaulatan yang tidak diumumkan secara formal.

B. Dari Pendudukan ke Penguasaan Permanen
Perubahan ini tak datang sendiri. Sejak bertahun-tahun, Israel terus memperluas pemukiman Yahudi di Tepi Barat, membangun jaringan jalan, infrastruktur, dan sistem keamanan yang secara perlahan menghapus batas antara wilayah pendudukan dengan Israel sendiri.

Namun, di bawah kepemimpinan Netanyahu dan kehadiran tokoh-tokoh ekstremis seperti Bezalel Smotrich — Menteri Keuangan sekaligus pejabat di Kementerian Pertahanan yang dikenal keras terhadap Palestina — proses tersebut berubah menjadi kebijakan sistematis.
Smotrich, yang juga mewakili kepentingan kelompok pemukim, memegang kendali langsung atas administrasi sipil di Tepi Barat. Ia menggunakan posisinya untuk memfasilitasi perluasan permukiman dan mempersulit kehidupan warga Palestina, termasuk dengan memaksa mereka meninggalkan lahan pertanian dan memojokkan penduduk ke area yang lebih sempit.
Mahkamah Internasional (ICJ) dalam opini hukumnya pada Juli 2024 bahkan menegaskan bahwa Israel telah melanggar hukum internasional dan melakukan aneksasi ilegal atas sebagian wilayah Tepi Barat. Namun, seperti dalam laporan ICG tunjukkan, tak ada konsekuensi nyata dari komunitas global.
C. Dunia Diam, Israel Melangkah
Meski berbagai lembaga internasional menilai kebijakan itu sebagai bentuk aneksasi, Israel tampak berhati-hati untuk tidak menyatakannya secara terbuka. Menurut ICG, langkah tersebut bertujuan agar negara itu tidak kehilangan legitimasi di mata sekutu-sekutunya, terutama Amerika Serikat dan Uni Eropa.
Namun diamnya komunitas internasional justru memberi ruang bagi Israel untuk memperluas penguasaannya. “Dalam praktiknya, sebagian besar Tepi Barat kini telah berada di bawah hukum dan otoritas sipil Israel,” tulis laporan itu.
Beberapa pengamat menilai situasi ini sebagai kegagalan sistemik dunia internasional, terutama karena dukungan politik dan militer tanpa syarat dari Washington. Terlepas dari ketegangan pribadi antara Netanyahu dan sejumlah presiden AS, dukungan strategis terhadap Israel tetap konsisten.
D. “Israel Raya” dan Kematian Solusi Dua Negara
Pemerintahan Netanyahu 2022 menjadi titik balik dalam politik domestik Israel. Koalisi yang terdiri dari kelompok-kelompok ultra-nasionalis dan religius ekstrem secara terbuka menyuarakan keinginan untuk mendirikan “Israel Raya” — negara yang mencakup seluruh wilayah Palestina dan Jordan, serta sebagian wilayah Suriah, Lebanon, Mesir, dan Irak.
Dalam visi ini, Tepi Barat dianggap bagian sah dari Israel, bukan wilayah yang diduduki. Gagasan itu menghapus peluang berdirinya negara Palestina merdeka, sekaligus menegaskan arah baru politik Israel yang menolak kompromi. Israel sudah tidak lagi melihat adanya solusi dua negara.
Laporan ICG memperingatkan bahwa “penerapan hukum sipil Israel di wilayah pendudukan akan menghapus perbedaan antara kehidupan di pemukiman dan kehidupan di dalam Israel sendiri.” Akibatnya, warga Palestina di Tepi Barat akan kehilangan hak-hak dasar mereka dan hidup di bawah sistem yang semakin apartheid.
E. Peluang Tekanan Internasional
Namun, di tengah suramnya situasi tersebut, laporan ICG juga menyebut adanya peluang diplomatik. Perang di Gaza dan meningkatnya gelombang pengakuan terhadap negara Palestina di berbagai belahan dunia membuka ruang untuk menekan Israel agar menghentikan aneksasi senyapnya.
Laporan itu menyerukan kepada pemain internasional — termasuk Uni Eropa dan negara-negara Arab yang telah menormalisasi hubungan dengan Israel — agar menggunakan pengaruh ekonomi dan politik mereka. Bentuknya bisa berupa pembekuan kerja sama perdagangan, pembatasan ekspor, hingga mengaitkan hubungan diplomatik dengan kejahatan nyata di lapangan.
“Israel tidak akan berubah dengan sendirinya,” tulis ICG. “Tetapi jika para aktor eksternal bertindak dengan kesabaran, konsistensi, dan koordinasi, peluang untuk mengubah perilakunya akan membaik.”
F. Kedaulatan Tanpa Nama, Penjajahan Tanpa Akhir
Kenyataannya, Israel terus memperluas kekuasaannya tanpa deklarasi resmi, namun dengan hasil yang sama: penghapusan batas 1967 dan kematian solusi dua negara.
Aneksasi yang dulu menjadi skenario masa depan kini telah menjadi kenyataan sehari-hari di Tepi Barat.
“Kedaulatan tanpa nama” ini mungkin tidak diakui secara formal, tetapi sudah tertanam dalam struktur hukum dan pemerintahan Israel — menjadikan pendudukan Palestina bukan sekadar sementara, melainkan proyek kolonial yang berlangsung penuh kesadaran dan perencanaan.