Oleh: Dr. Mohsen Mohammad Saleh (Direktur Pusat Kajian dan Konsultasi Al-Zaituniyah)
Capaian besar yang dicapai Pertempuran “Taufan Al-Aqsa” menjadi sumber inspirasi yang belum pernah terjadi sebelumnya bagi umat Arab dan Islam mengenai kemungkinan mengalahkan proyek Zionis dan mengakhiri penjajahan.
Reaksi bangsa Arab dan Islam sangat besar; keyakinan akan perjuangan Palestina melalui jalur perlawanan dan proyek Islam semakin menguat, dan masalah Al-Quds sebagai sentral permasalahan yang menyatukan bangsa-bangsa Islam, kelompok-kelompok dan etnis-etnis Islam telah terkonfirmasi di umat Islam, serta Al-Quds sebagai kompas yang mengarahkan mereka melawan musuh bersama (musuh Zionis) yang selalu memerangi kebangkitan dan persatuan umat Islam, serta Dan Al-Quds menjadi standar dimuliakan atau dihinakan, akan dihormati bagi mereka yang memuliakan dan berjuang untuk Al-Quds dan akan direndahkan terhadap orang yang mengabaikan Al-Quds atau yang berkerjasama dengan musuh Al-Quds.
Pertempuran Taufan Al-Aqsa ini telah melumpuhkan proyek normalisasi dan membuktikan bahwa rakyat Palestina tidak bisa diabaikan, dan masalah Palestina tidak bisa diredup dan masalahnya tidak bisa ditutup.
Tuntutan Pertempuran dan Fase
Telah menjadi konsensus bahwa periode dan situasi setelah 7 Oktober (hari dimulainya pertempuran) tidak sama dengan periode sebelumnya, terjadi sebuah peristiwa bersejarah yang berbeda dan belum pernah terjadi. Bahkan musuh Israel sendiri menyadari bagaimana Operasi Taufan Al-Aqsa telah menghacurkan sistem keamanan mereka, dan menghancurkan system dan fungsi pertahanan mereka yang menjadikan Israel sebagai “tempat perlindungan yang aman” bagi orang-orang Yahudi Zionis, dan juga sebagai benteng terdepan bagi imperialisme Barat dan sebagai penjaga bagi wilayah itu.
Oleh karena itu, para pemimpin mereka berbicara tentang “Perang Kemerdekaan Kedua”, dan mereka melancarkan operasi dengan histreris dan brutal terhadap Jalur Gaza; untuk mendapatkan kembali sebagian kehormatan mereka, dan untuk mendapatkan kembali kepercayaan justifikasi wujud peran mereka di kawasan.
Pertempuran “Taufan Al-Aqsa” telah menghambat proyek Amerika-Zionis untuk mendominasi kawasan Timur Tengah, telah memporak-porandakan identitas, warisan, dan proyek peradaban mereka; dan memberi kesempatan kepada faksi-faksi kebangkitan di kawasan untuk mengambil inisiatif dan mengembalikan kebangkitan dan peran umat.
Berdasarkan hal iini, kita bisa memahami keberadaan aliansi dunia Barat yang dipimpin oleh Amerika Serikat mendukung penuh Zionis Israel dalam agresi mereka ke Gaza; mereka tidak ingin hanya menundukkan Jalur Gaza, tetapi akan terus berusaha keras setelah itu untuk “mengobok-obok” dunia Islam dan mencabut semangat jihad dari jiwa umat Islam, serta melawan aliran dan kelompok Islam dan nasionalisme yang lurus, merusak masyarakat Islam, dan menjadikan Kawasan Timur Tengah ke dalam era dominasi Israel-Amerika.
Oleh karena itu, apa pun hasil dari perang di Gaza, umat Islam tetap membayar konsekuensi bertanggung jawab yang menjadi tuntutan dari pertempuran saat ini agar umat Islam mengambil peran dan tanggungjawabnya. Jika Gaza bertahan dan menang, itu adalah tanda kemenangan dan menjadi boomerang (Countdown) proyek Zionis (seperti yang dikatakan Menteri Perang Israel, Yoav Gallant; jika tentara tidak dapat sepenuhnya menghancurkan kemampuan Hamas, “kita tidak akan bisa hidup di Israel”).
Oleh karena itu, ada tuntutan keterlibatan umat Islam dalam proyek pembebasan Palestina; dan jika Zionis menguasai Jalur Gaza, maka sasaran berikutnya adalah menghancurkan umat Islam dan kelompok-kelompok Islam, nasionalisme murni, dan kelompok-kelompok pembaharu; dan oleh karena itu, umat Islam dituntut mengambil peran dalam perang pembebasan ini. Apapun peran substansial umat Islam adalah tuntutan yang menjadi kewajiban yang harus diambil mau tidak mau.
Ini mengingatkan kita pada firman Allah Swt.,: “Sedang kamu menginginkan bahwa yang itdak mempunyai kekuatan senjata untukmu. Tetapi Allah hendak membenarkan yang benar dengan ayat-ayat-Nya dan memusnahkan orang-orang kafir sampai ke akar-akarnya.” (Surah Al-Anfal: 7).
Oleh karena itu, emosi dan aksi-aksi musiman tidak lagi bermanfaat, karena hukum fardu ain setiap individu dalam menghadapi musuh Zionis telah menjadi kebutuhan darurat, kewajiban yang harus dipenuhi, dan menjadi prioritas utama.
Menuju Kerja-kerja Sistematis yang Berkelanjutan
Salah satu tantangan utama yang dihadapi umat Islam adalah bagaimana mewujudkan kondisi aksi dan kerja-kerja dan reaksi yang berkelanjutan dan meningkat, yang sesuai dengan besarnya tantangan dengan pertempuran yang semakin sengit.
Selama puluhan tahun, kita telah terbiasa dengan reaksi dadakan terhadap peristiwa, dan yang tergantung pada sejauh mana tingkat kritis dan kerugian musuh, pembantaian, jumlah syuhada, dan kehancuran, yang cepat meredup saat peristiwa berhenti atau mengikuti pola yang teratur. Dimana aksi-aksi demonstrasi, kegiatan, kampanye penggalangan dana, dan kampanye boikot secara bertahap melemah hingga berhenti.
Mungkin begitulah tabiat manusia, terutama dengan adanya rezim Arab dan dunia Islam yang korup dan otoriter, yang kerjanya hanya mengalihkan perhatian massa dari pertempuran, kebangkitan, dan peristiwa semacam itu; karena hal tersebut hanya akan semakin mengungkap kelemahan, kelemahan dan pengabaian, dan kekurangan rezim-rezim tersebu, dan menjadi pemantik penggerak bagi masyarakat melawan rezimnya yang tidak berdaya atau bersekongkol.
Di sisi lain, rezim Zionis dan sekutunya bekerja secara dan metodis, sistematis dan berkelanjutan, dan di antara visi spesifik yang mendapatkan dukungan barat dan internasional adalah menghapus masalah Palestina, mempreteli kemenangan-kemenangan dan pencapaian perlawanan Palestina, merusak role model patriotisme dan pengorbanan perlawanan Palastina, dan menjadikan Perlawanan Palestina bertanggung jawab terhadap penderitaan rakyat dan kondisi penindasan serta kehancuran di bawah penjajahan; dengan memanfaatkan penyakit umat ini yang suka lupa, dan memanfaatkan “sistem-sistem hiburan” yang mendominasi di dunia Arab dan Islam.
Fenomena “musiman” dan kebiasaan di Tengah umat Islam telah terulang selama puluhan tahun; itu terjadi dalam Intifada 1987-1993, dan dalam Intifada Al-Aqsa 2000-2005, dan terulang lagi setelah perang Gaza 2008-2009, 2012, 2014, dan 2021.
Sebagai contoh, kampanye boikot barang-barang Amerika sangat besar dan sangat sukses dalam Intifada Al-Aqsa, tetapi dengan cepat orang kembali ke kebiasaan konsumsi mereka yang lama. Demikian pula, reaksi Arab, Islam, dan global yang besar dengan Pertempuran “Pedang Al-Quds” 2021, dan Palestina memenangkan pertempuran informasi secara luar biasa di Eropa dan Amerika, dan tingkat dukungan untuk entitas Israel turun ke tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Namun, setelah perang dan pertempuran pihak Israel kembali memasarkan dirinya secara global dan melanjutkan normalisasi, dan melakukan tindakan yang lebih berbahaya di Yerusalem dan Al-Aqsa daripada alasan-alasan yang menyebabkan pertempuran; yang juga merupakan salah satu alasan utama Pertempuran “Taufan Al-Aqsa”.
Jika ada kesepakatan bahwa Pertempuran “Taufan Al-Aqsa” adalah peristiwa bersejarah yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah Palestina, maka panjangnya pertempuran, dan kekhawatiran dari “terbiasa” dan kembali ke kehidupan sebelumnya yang normal tetap menjadi kemungkinan besar bagi sebagian besar orang.
Bahaya-bahaya ini terlihat dari penurunan intensitas demonstrasi dukungan masyarakat dan resmi, baik secara finansial, moral, media, maupun politik, dan menurun ke level sekedar mengikuti berita pertempuran dan pembantaian penjajah, dan atmosfir dan animo Masyarakat yang memberikan tekanan kepada pendudukan Israel menurun; sementara di saat yang sama musuh-musuhnya bersama sekutu-sekutunya dengan intens dan terus menerus serta dengan sistematis dan terukur; mengucilkan dan memukul perlawanan Palestina.
Sebagai contoh, jumlah syuhada perang “Pedang Al-Quds” sebanyak 260 syuhada, sementara jumlah syahid harian dalam perang “Taufan Al-Aqsa” dalam beberapa hari melebihi 700 atau 800 syuhada.
Di saat saat maroritas aksi-aksi dukungan untuk pertempuran meredup di dunia Arab dan dunia Islam, begitu juga penggalangan dana dan kampanya mobilisasi peduli Palestina, setiap hari sekitar seratus syuhada meninggal di Gaza, dan warga Gaza, khususnya di bagian utara, masih menghadapi kelaparan yang belum pernah terjadi sebelumnya, dan wilayah Rafah di mana sekitar satu juta empat ratus ribu warga Palestina berkumpul terus-menerus menghadapi pembantaian yang mengerikan, dan kampanye pengusiran paksa berdarah keluar Jalur Gaza.
Ada pemahaman yang salah tentang konsep “melakukan kewajiban” atau “kemampuan”, yang banyak tersebar di tengah masyarakat kita bahwa dengan berdoa atau berpartisipasi dalam unjuk rasa satu hari atau menyumbangkan sejumlah dana pada suatu waktu dianggap sudah cukup menggugurkan kewajiban!!.
Sementara para ulama melihat konsep kemampuan “dan siapkan untuk mereka semampu yang kamu bisa”, dan konsep mengerahkan kemampuan “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya”; menuntut kewajiban fardhu ain (tuntutan bagi setiap muslim dalam kondisi Palestina) adalah mengeksploitasi usaha dan semua sumber daya secara terus-menerus sampai kemenangan dan pembebasan terwujud, dan kita akan bertanggung jawab atas segala sesuatu yang kita mampu lakukan dan tidak kita lakukan.
Kondisi malas dan lemah serta kebiasaan ini mengingatkan kita pada peringatan Khalifah Rasyid Umar bin Khattab – semoga Allah meridhainya – yang memohon perlindungan kepada Allah dari “Cambukan orang pendosa dan kelemahan orang terpercaya”.
Meningkatkan Ambang Batas
Di lingkungan kita saat ini, sulit untuk menerjemahkan gagasan “mengambil tanggung jawab” terhadap Palestina, terutama karena perlawanan di Palestina telah mencapai tahap yang signifikan dalam jalur “perlawanan bersenjata”, sementara lingkungan Arab dan dunia Islam cenderung kepada “perlawanan tanpa senjata”.
Bahkan kelompok-kelompok Islam, nasionalis, dan patriotik juga tidak beradaptasi dengan itu, dan sebagian besar partisipasi mereka sekarang tidak melampaui aktivisme politik demonstrasi, kegiatan amal, dan aksi damai, yang mudah diatur dan juga mudah ditekan oleh rezim.
Sementara itu, proyek Zionis dapat merekrut aliansi global yang mendukungnya secara militer dan keamanan, serta bisa menarik para sukarelawan Zionis dan bahkan tentara bayaran dari seluruh dunia.
Oleh karena itu, seruan perlawanan-perlawanan Palestina kepada gerakan-gerakan ini untuk berpartisipasi dalam perjuangan pembebasan tidak menemui respons yang solid untuk bergerak secara efektif, terutama setelah gerakan-gerakan ini menghadapi serangan, diabaikan, dan para aktifisnya dikejar-kejar oleh gelombang kontra dari “Arab Spring”.
Satu-satunya opsi tersisa hanyalah partisipasi dalam “Pertempuran” yang ditetapkan oleh “front perlawanan” yang didukung oleh Iran, karena pengaruhnya yang kuat atau dominasinya di beberapa negara seperti Lebanon, Irak, dan Yaman.
Partisipasi Brigades “Al-Qassam” dan pasukan “Fajr” yang terkait dengan kelompok Islam di Lebanon adalah contoh yang cukup jelas, meskipun memiliki dampak terbatas dibandingkan dengan peran yang diharapkan.
Gerakan-gerakan ini tidak dituntut untuk serta merta berubah menjadi tindakan bersenjata, karena setiap negara memiliki kondisi, prioritas, kemampuan, dan sumber daya masing-masing; Namun, ini tidak menghalangi upaya untuk meningkatkan ambang batas, terutama dalam lingkungan-lingkungan strategis yang melingkupi Palestina, yang sesuai dengan ancaman proyek Zionis terhadap Kawasan Timur Tengah dan kebutuhan untuk menghadapinya; dan ini tidak menghalangi menyebarkan wawasan jihad, pengorbanan, dan persiapan untuk jihad. Sebagaimana dalam hadis sahih dari Rasulullah – semoga damai dan rahmat Allah tercurah kepadanya – bahwa “siapa pun yang mati tanpa berpartisipasi dalam jihad atau tanpa bermaksud untuk berperang makai a mati dalam keadaan munafik”; dan ini tidak menghalangi partisipasi sebanyak mungkin dari mereka yang mampu dengan cara yang tersedia.
Dari Lokalitas ke Umat
Pendekatan logika dan orientasi lokal, serta dampak negatifnya yang dihasilkan terhadap isu-isu besar umat, adalah salah satu hambatan terbesar dalam mendukung Palestina dengan benar. Oleh karena itu, konsep Islam, makna yang terkait dengan identitas umat, fiqih prioritas, fiqih kepentingan, dan fiqih keadaan menjadi kacau ketika orientasi lokal didahulukan dari isu-isu besar.
Terjadi kegamangan dan kehilangan arah dalam cara menerjemahkan visi Islam (atau bahkan visi nasional) ke dalam lingkungan yang tenggelam dalam hitungan-hitungn dan prioritas lokal.
Yang lebih berbahaya adalah bahwa mereka yang terfokus pada urusan lokal mereka tidak menyadari atau tidak ingin menyadari bahwa proyek Zionis tidak hanya menargetkan Palestina, tetapi semua orang, yang telah terbukti selama 76 tahun sejak pendirian “Israel”, karena tidak ada kebangkitan, persatuan, atau kekuatan di kawasan selama entitas Zionis Israel ini masih berdiri, karena kelangsungan hidupnya terkait dengan kelemahan di sekitarnya, dan syarat kebangkitan di sekitarnya (terutama lingkungan strategis) terkait dengan penghapusan entitas ini.
Karena Palestina tidak akan dibebaskan dari dalam, meskipun peran vital dan sentral dari rakyat Palestina dalam ketahanan, perlawanan, dan konfrontasi dengan musuh, maka harus ada perpindahan dan peralihan dari fokus pada isu-isu lokal ke isu-isu ke-umat-an global dalam proyek pembebasan; dan harus ada proyek kebangkitan dan persatuan dan berjalan seiring dan menyempurnakan perlawanan Palestina, yang mampu menghimpun kekuatan dan merespon tantangan proyek Zionis Barat.
Jika proyek Zionis menargetkan umat, maka responsnya harus berskala ke-umat-an; dan jika proyek Zionis bersifat global, maka proyek pembebasan tidak dapat menjadi lokal, atau tidak bisa dari lingkungan yang hidup di bawah penjajahan. Oleh karena itu, peralihan dari fokus pada lokalitas ke umat menjadi syarat bagi proyek pembebasan.
Akhirnya, bukan hanya pertanyaan tentang dampak yang ditimbulkan goncangan “Taufan Al-Aqsa” kepada umat, dan berubah menjadi kenangan indah dan dampak sementara dan berlalu begitu saja; namun, terdapat tiga tingkat utama; sejauh mana terpartri dan berdampak pada perasaan, kedua, sejauh mana pengaruhnya meluas di tengah rakyat dan sektor-sektor masyarakat, dan ketiga sejauh mana berubah menjadi kondisi terus menerus dan berkelanjutan dalam sistem pembentukan diri dan pemikiran, praktik hidup, sistem sosial, politik, dan ekonomi… dan lain-lain.
Di sini, perlu ada “pengukuran dampak”, dan mengubahnya menjadi wawasan budaya, pendidikan, dan pendekatan hidup.